Muhaimin Iskandar Diantara “Gus Durian” dan”Dus Durian”
Oleh Kang Ismail Solichin via KOMPASIANA 18 September 2011
Pada hari Ahad,tanggal 7 Agustus 2011 yang lalu, diadakan peresmian sebuah tempat yang terletak di pojok gedung PBNU Jl. Kramat Raya, Jakarta, pojok Gus Dur. Di ruang itulah, dulu gus Dur beraktifitas dan menerima tamu dari berbagai kalangan dengan beragam tujuan.Disamping untuk mengenang gus Dur, pojok itu ada sebagai bentuk apresiasi bagi kalangan pengagum dan pengikut gus Dur. Mereka yang mengagumi dan mengikuti paham dan pemikiran gus Dur sering disebut dengan “Gus Dur-ian”. Akhiran “ian” di belakang nama gus Dur, untuk menunjuk kepada orang-orang atau kelompok yang mengikuti dan meneladani hal-hal yang berkaitan dengan sikap dan pemikiran seorang gus Dur.
Nama sebenarnya dari gus Dur adalah Abdurahman Ad-Dakhil, merujuk kepada nama dari wangsa Bani Umayyah yang berhasil menaklukan daratan Eropa, Spanyol. Nama itu diberikan oleh KH. Wahid Hasyim untuk salah seorang putranya, dan orang lebih mengenal nama putranya tersebut dengan nama Abdurahman Wahid. Sebagaimana kelaziman di kalangan pesantren Jawa Timur, santri maupun masyarakat sekitar pondok memanggil anak lelaki seorang kyai dengan panggilan “GUS”. Maka Abdurahman Ad-Dakhil itu dipanggil dengan panggilan GUS DUR. “DUR” lengkapnya adalah Durahman, Abdurahman. Orang yang tidak familiar dengan dunia pesantren, untuk menghargai (karena ketidaktahuan) memanggil gus Dur dengan menambahkan Pak Gus Dur atau Bapak Gus Dur. Sebutan seperti ini sering terdengar ketika gus Dur menjabat Presiden Republik Indonesia.
Gus Dur merupakan salah seorang dari dunia pesantren (muslim tradisional) yang tidak merasa rendah diri berhadapan dan bergaul dengan kalangan muslim modernis. Banyak kalangan diluar pesantren ingin tahu lebih banyak mengenai dunia pesantren setelah membaca dan mengenal karya pemikiran gus Dur. Tulisan gus Dur banyak dimuat di majalah Tempo, ketika majalah itu masih berkantor di bilangan Projek Senen, Jakarta Pusat. Dan pemikiran gus Dur juga sering dimuat di majalah “serius” yang bernama “Prisma”. Sebuah majalah yang diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), sebuah majalah yang cukup berbobot dan berpengaruh di dunia akademik, ketika itu.
Bagi gus Dur, Islam harus dijadikan pedoman tata nilai kehidupan yang bersumber kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, nilai-nilai keislaman. Ia menomor-duakan formalitas ajaran Islam, gus Dur lebih mengedepankan perwujudan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap ini tentu berbeda dengan mereka yang lebih mengutamakan perwujudan formalitas ajaran Islam, maka bagi kalangan ini politik menjadi penting, dan merebut kekuasaan menjadi tujuan. Bagi gus Dur, politik juga penting, tetapi jangan sampai Islam dijadikan alat politik, kuda tunggangan bagi kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Islam harus dimaknai sebagai sikap untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua golongan, dalam bahasa agama menjadi “rahmatan lil-’alamien”.
Pemikirannya mulai mendapatkan tempat dan pengaruh di kalangan pemikir dan pemerhati sosial dan politik. Ketika ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, ia mulai menggelindingkan gagasan-gagasannya. Ia mulai menarik dan membatasi NU dari tarikan-tarikan partai-partai politik, hatta itu PPP, sebuah partai Islam dimana (ketika itu) partai NU dan partai Islam yang lain difusikan. Barangkali NU ketika itu, meminjam istilah almarhum KH. Zainuddin MZ, NU tidak kemana-mana, tetapi ada dimana-mana. Maka orang-orang NU seperti berdiaspora, menyebar ke berbagai tempat, ada yang tetap aktif di PPP, ada yang ke Golkar bahkan ada yang ke PDI. Puncaknya adalah NU menerima Panca Sila sebagai azas tunggal. Sebuah langkah kebijakan peng-asa tunggalan yang diambil oleh Presiden Soeharto, dan cukup mendapat “perlawanan” dari para aktifis Islam.
Sebagai seorang cucu dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul ‘Ulama (NU), gus Dur banyak dikenal dan diterima oleh kalangan kyai pesantren. Pemahamannya akan kitab kuning dan keakrabannya dengan lingkungan pesantren, gagasan dan pemikiran gus Dur lebih banyak diterima dibanding ditolak. Kesenangannya untuk menyempatkan sowan kepada kyai-kyai, baik kyai yang mempunyai pondok pesantren di daerah perkotaan maupun yang terletak di pelosok-pelosok pedesaan, menjadikan dirinya lebih dikenal dan mudah untuk mengemukakan gagasannya. Maka tidak heran jika pada era kepemimpinannya , dikenal gus Dur itu NU dan NU adalah gus Dur. Apapun yang keluar dari lisan gus Dur, itulah pendapat NU.
Jika Muhamaddiyah bangga dengan Amien Rais, maka NU membanggakan gus Dur. Jika Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) membanggakan sosok cak Nur (alm. Nurcholis Majid) maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) membanggakan sosok gus Dur. Muhaimin Islandar pernah menjabat sebagai Ketua Umum PMII. Jika demikian halnya dia adalah salah seorang “anggota” dari “Gus Durian” dan Muhaimin sendiri dalam satu kesempatan pernah mengaku bahwa ia adalah anak ideologis gus Dur. Kini Muhaimin Iskandar, yang menjabat sebagai Ketua Umum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), partainya gus Dur, dan menjadi salah seorang menteri dari pemerintahan SBY, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sedang terbelit masalah dengan terungkapnya kasus suap dari seorang pengusaha demi mendapatkan proyek infrastruktur di lahan transmigrasi.
Bukti suap itu ditemukan oleh satuan aparat KPK dalam sebuah “Dus Durian” yang berisikan uang sejumlah Rp. 1.500.000.000 ( satu setengah miliar). Bukanah kata “Gus Durian” dengan “Dus Durian” hanya berbeda SATU huruf saja. G dan D. Ini seperti sebuah kebetulan “sejarah”. Seorang yang mengaku “Gus Durian” harus jatuh dari kekuasaan akibat menerima “Dus Durian”. Ataukah ini peringatan dari alam sana, bahwa gus Dur tidak senang dengan sepak terjang Muhaimin Iskandar yang tidak berlaku sebagai seorang santri terhadap kyai, sikap “sami’na wa atho’na”, saya mendengar, saya taat, ketika gus Dur, guru politiknya sekaligus pamannya, orang yang sangat berjasa dalam karir politiknya, yang memintanya untuk turun dari kursi Ketua Umum PKB.
Kiranya hanya Tuhan yang tahu.
source : http://politik.kompasiana.com/2011/09/18/muhaimin-iskandar-diantara-gus-durian-dandus-durian-394255.html
Jakarta, 18 September 2011
Pada hari Ahad,tanggal 7 Agustus 2011 yang lalu, diadakan peresmian sebuah tempat yang terletak di pojok gedung PBNU Jl. Kramat Raya, Jakarta, pojok Gus Dur. Di ruang itulah, dulu gus Dur beraktifitas dan menerima tamu dari berbagai kalangan dengan beragam tujuan.Disamping untuk mengenang gus Dur, pojok itu ada sebagai bentuk apresiasi bagi kalangan pengagum dan pengikut gus Dur. Mereka yang mengagumi dan mengikuti paham dan pemikiran gus Dur sering disebut dengan “Gus Dur-ian”. Akhiran “ian” di belakang nama gus Dur, untuk menunjuk kepada orang-orang atau kelompok yang mengikuti dan meneladani hal-hal yang berkaitan dengan sikap dan pemikiran seorang gus Dur.
Nama sebenarnya dari gus Dur adalah Abdurahman Ad-Dakhil, merujuk kepada nama dari wangsa Bani Umayyah yang berhasil menaklukan daratan Eropa, Spanyol. Nama itu diberikan oleh KH. Wahid Hasyim untuk salah seorang putranya, dan orang lebih mengenal nama putranya tersebut dengan nama Abdurahman Wahid. Sebagaimana kelaziman di kalangan pesantren Jawa Timur, santri maupun masyarakat sekitar pondok memanggil anak lelaki seorang kyai dengan panggilan “GUS”. Maka Abdurahman Ad-Dakhil itu dipanggil dengan panggilan GUS DUR. “DUR” lengkapnya adalah Durahman, Abdurahman. Orang yang tidak familiar dengan dunia pesantren, untuk menghargai (karena ketidaktahuan) memanggil gus Dur dengan menambahkan Pak Gus Dur atau Bapak Gus Dur. Sebutan seperti ini sering terdengar ketika gus Dur menjabat Presiden Republik Indonesia.
Gus Dur merupakan salah seorang dari dunia pesantren (muslim tradisional) yang tidak merasa rendah diri berhadapan dan bergaul dengan kalangan muslim modernis. Banyak kalangan diluar pesantren ingin tahu lebih banyak mengenai dunia pesantren setelah membaca dan mengenal karya pemikiran gus Dur. Tulisan gus Dur banyak dimuat di majalah Tempo, ketika majalah itu masih berkantor di bilangan Projek Senen, Jakarta Pusat. Dan pemikiran gus Dur juga sering dimuat di majalah “serius” yang bernama “Prisma”. Sebuah majalah yang diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), sebuah majalah yang cukup berbobot dan berpengaruh di dunia akademik, ketika itu.
Bagi gus Dur, Islam harus dijadikan pedoman tata nilai kehidupan yang bersumber kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, nilai-nilai keislaman. Ia menomor-duakan formalitas ajaran Islam, gus Dur lebih mengedepankan perwujudan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap ini tentu berbeda dengan mereka yang lebih mengutamakan perwujudan formalitas ajaran Islam, maka bagi kalangan ini politik menjadi penting, dan merebut kekuasaan menjadi tujuan. Bagi gus Dur, politik juga penting, tetapi jangan sampai Islam dijadikan alat politik, kuda tunggangan bagi kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Islam harus dimaknai sebagai sikap untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua golongan, dalam bahasa agama menjadi “rahmatan lil-’alamien”.
Pemikirannya mulai mendapatkan tempat dan pengaruh di kalangan pemikir dan pemerhati sosial dan politik. Ketika ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, ia mulai menggelindingkan gagasan-gagasannya. Ia mulai menarik dan membatasi NU dari tarikan-tarikan partai-partai politik, hatta itu PPP, sebuah partai Islam dimana (ketika itu) partai NU dan partai Islam yang lain difusikan. Barangkali NU ketika itu, meminjam istilah almarhum KH. Zainuddin MZ, NU tidak kemana-mana, tetapi ada dimana-mana. Maka orang-orang NU seperti berdiaspora, menyebar ke berbagai tempat, ada yang tetap aktif di PPP, ada yang ke Golkar bahkan ada yang ke PDI. Puncaknya adalah NU menerima Panca Sila sebagai azas tunggal. Sebuah langkah kebijakan peng-asa tunggalan yang diambil oleh Presiden Soeharto, dan cukup mendapat “perlawanan” dari para aktifis Islam.
Sebagai seorang cucu dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul ‘Ulama (NU), gus Dur banyak dikenal dan diterima oleh kalangan kyai pesantren. Pemahamannya akan kitab kuning dan keakrabannya dengan lingkungan pesantren, gagasan dan pemikiran gus Dur lebih banyak diterima dibanding ditolak. Kesenangannya untuk menyempatkan sowan kepada kyai-kyai, baik kyai yang mempunyai pondok pesantren di daerah perkotaan maupun yang terletak di pelosok-pelosok pedesaan, menjadikan dirinya lebih dikenal dan mudah untuk mengemukakan gagasannya. Maka tidak heran jika pada era kepemimpinannya , dikenal gus Dur itu NU dan NU adalah gus Dur. Apapun yang keluar dari lisan gus Dur, itulah pendapat NU.
Jika Muhamaddiyah bangga dengan Amien Rais, maka NU membanggakan gus Dur. Jika Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) membanggakan sosok cak Nur (alm. Nurcholis Majid) maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) membanggakan sosok gus Dur. Muhaimin Islandar pernah menjabat sebagai Ketua Umum PMII. Jika demikian halnya dia adalah salah seorang “anggota” dari “Gus Durian” dan Muhaimin sendiri dalam satu kesempatan pernah mengaku bahwa ia adalah anak ideologis gus Dur. Kini Muhaimin Iskandar, yang menjabat sebagai Ketua Umum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), partainya gus Dur, dan menjadi salah seorang menteri dari pemerintahan SBY, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sedang terbelit masalah dengan terungkapnya kasus suap dari seorang pengusaha demi mendapatkan proyek infrastruktur di lahan transmigrasi.
Bukti suap itu ditemukan oleh satuan aparat KPK dalam sebuah “Dus Durian” yang berisikan uang sejumlah Rp. 1.500.000.000 ( satu setengah miliar). Bukanah kata “Gus Durian” dengan “Dus Durian” hanya berbeda SATU huruf saja. G dan D. Ini seperti sebuah kebetulan “sejarah”. Seorang yang mengaku “Gus Durian” harus jatuh dari kekuasaan akibat menerima “Dus Durian”. Ataukah ini peringatan dari alam sana, bahwa gus Dur tidak senang dengan sepak terjang Muhaimin Iskandar yang tidak berlaku sebagai seorang santri terhadap kyai, sikap “sami’na wa atho’na”, saya mendengar, saya taat, ketika gus Dur, guru politiknya sekaligus pamannya, orang yang sangat berjasa dalam karir politiknya, yang memintanya untuk turun dari kursi Ketua Umum PKB.
Kiranya hanya Tuhan yang tahu.
source : http://politik.kompasiana.com/2011/09/18/muhaimin-iskandar-diantara-gus-durian-dandus-durian-394255.html
Jakarta, 18 September 2011
0 comments:
Post a Comment